Sunday 14 January 2007

Surat Buat Sakura

AWAL April ini aku masih berada di Tokyo. Aku sengaja duduk-duduk di taman kota dan menulis surat. Langit kota cukup bersih. Angin sore mengayun-ayun ranting pohon Sakura sehingga bunga-bunga warna merah jambu itu berterbangan. Bunga ini bertebaran di mana-mana, mulai taman-taman kota, halaman kuil, hingga kanan-kiri jalan. Beberapa bunga jatuh terkulai lemas di atas kertas suratku. Siluet sore terbentuk saat sinar matahari Barat menerpa kuil-kuil kuno Jepang, tak jauh dari tempatku. Jepang baru saja mengalami pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi. Inilah semi di Negeri Matahari Terbit yang amat memesona.

Tumben aku menulis surat. Aku juga heran. Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menulis surat. Apalagi dengan pulpen dan kertas. Sebenarnya aku bisa saja menuliskannya melalui surat elektronik di internet atau sekadar mengirim pesan pendek melalui ponselku. Tapi, aku benar-benar ingin menulis surat dengan cara tradisional ini. Memang, di jaman kontemporer ini, semua bisa dilakukan dengan serba mudah dan cepat. Pesan bisa dikirim saat ini juga ke tempat yang jauh sekalipun. Ruang dan waktu benar-benar dimampatkan. Tapi, aku ingin sekali menulis surat dengan cara ini. Justru aku ingin mengembalikan ruang dan waktu ini saling tergantung sama lain. Ah, ini alasan yang mengada-ada. Yang jelas, aku ingin menulis surat buat sahabatku. Semenjak Tokyo bermandikan bunga-bunga Sakura, aku merindukan seorang sahabat. Aku kangen sekali. Dan aku ingin membunuh rasa kangen itu dengan menulis surat.

Angin sore itu terasa makin kencang. Orang masih lalu lalang di sekitar taman kota. Sementara, berkali-kali bunga-bunga yang tergeletak di pelataran terserak ke sana-kemari disapu angin. Dan aku masih menulis surat.

Aku menulis surat untuk seorang sahabatku yang ada di Jakarta. Namanya persis seperti bunga kebanggan masyarakat Jepang ini, Sakura. Sudah hampir satu tahun aku tidak menjumpai sosoknya sejak aku mendapat beasiswa S2 dan kuliah di Universitas Jepang. Tahun lalu, Pemerintah Jepang menyediakan beasiswa Monbusho pada orang-orang Indonesia. Aku adalah termasuk orang yang beruntung. Aku lolos dalam seleksi program beasiswa itu. Di tengah biaya pendidikan di Tanah Air yang makin tinggi, justru aku bisa mengenyam pendidikan di luar negeri dengan gratis. Di sini, aku sudah dapat tiket pesawat keberangkatan, uang kuliah, apartemen, dan uang beasiswa bulanan sebesar 120.000 yen. Aku senang kuliah di sini, lebih-lebih aku menyukai bidang studinya, yakni social science.

Beasiswa inilah yang memisahkan diriku dengan Sakura. Kami sudah berteman sejak kita kuliah di satu kampus di Depok. Aku kakak kelasnya satu tahun. Aku masuk jurusan filsafat dan dia mengambil jurusan antropologi. Dua bidang studi yang jarang dilirik dan diminati para mahasiswa. Kata orang, kedua jurusan itu tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Mendingan kuliah di fakultas ekonomi. Toh, ekonomi menjadi sesuatu yang fundamental di arus perekonomian global saat ini. Apalagi filsafat terkesan ilmu mengawang-awang. Sebagian menilai jurusan filsafat adalah tempat buangan mahasiswa yang kepandaiannya rata-rata. Sebagian menganggap kelas filsafat sebagai kumpulan orang-orang gila yang ingin lari dari kenyataan hidup. Ah, peduli amat dengan itu.

Relasi kami berdua semakin dekat lantaran kami suka mengadakan diskusi bulanan di wisma mahasiswa. Lagi-lagi, kegiatan yang tidak disukai mahasiswa. Bahkan, dia sendiri yang mempromosikan diskusi bulanan itu di seantero kampus. Temperamennya keras, tepatnya pekerja keras. Memang sih, dia suka marah bila ada yang tidak disiplin atau aku tidak menepati janji padanya. Ah, dia lebih tepat sebagai seorang prefeksionis. Segala sesuatu ingin ia kerjakan dengan sempurna. Single fighter. Nol kesalahan. Ia seperti orang yang dididik dalam kehidupan yang keras. Tak hanya itu, semangat belajarnya luar biasa. Inilah yang membuatku semakin lama semakin dekat dengan dirinya.

Obrolan demi obrolan semakin membuat kami seperti sepasang kekasih. Tapi, kami tidak pernah pacaran. Tidak ada kata-kata cinta yang terlempar dari mulut kami. Dan tidak ada niat sama sekali untuk berpacaran. Tapi, orang-orang kampus mengira kami berpacaran. Setiap kami bertemu dan berduaan di tepi danau di dalam pekarangan kampus, orang mengira kami pacaran. Setiap kami berduaan di sebuah kedai kopi dan ditemani capuccino kesukaan kami, orang mengira kami berpacaran. Padahal, kami lagi mengobrol tentang hidup. Tentang dunia, tentang realitas, tentang perang, tentang terorisme, tentang kapitalisme, tentang Tuhan, tentang nasib, tentang secangkir cappucinno, tentang senja, dan sebagainya. Kami senantiasa mengobrolkan apa saja yang sudah kami peroleh dari bangku kuliah dan membaca buku. Kami ingin membuat semuanya menjadi jelas, sejelas bintang-bintang yang terpaku di dinding langit.

Orang lain sering menilai obrolan kami berat. O, aku tahu sekarang. Karena itu, orang enggan bergabung dengan kami. Entah dalam diskusi di wisma mahasiswa, di tepi danau, maupun di kedai kopi. Makanya, kami sering tampak berduaan. Padahal, kami selalu welcome pada siapa saja. Yah, demikianlah kami. Obrolan-obrolan kami semakin mendekatkan kami. Tapi, kami tidak berpacaran karena kami juga tidak ada niat untuk berpacaran. Kami juga bukan penjelmaan sepasang cinta filsuf Martin Heidegger dan Hanah Arendt seperti dikatakan seorang kawan dalam ledekannya. Kami bukan lakon dari bukunya Elzbietta Ettinger tentang perselingkuhan dua pemikir raksasa itu.

Arendt, seorang mahasiswi berumur belasan tahun terkagum-kagum pada seorang profesornya bernama Heidegger. Ia dijuluki Sang Penyihir dari Messkirch karena gaya mengajarnya yang memukau. Sang Profesor pun tersihir oleh kepandaian Arendt. Relasi cinta yang tebalut rapi dalam diskusi-diskusi akademis itu berpuncak pada apa yang disebut orang perselingkuhan. Uh, inilah ejekan buat aku dan Sakura. Keberduaan kami sering diledek dengan menyamakan kami dengan pasangan kekasih filsuf itu. Yang jelas, kami bukan Heidegger-Arendt karena kami tidak berselingkuh. Kami tidak pernah berpacaran. Masing-masing dari kami juga tidak memunyai pacar. Nah, bagaimana kami bisa berselingkuh? Ha ha, sebuah ejekan yang tidak berdasar. Tak jarang, orang sering buru-buru menyimpulkan berdasarkan sampul dan permukaannya saja.

Bunga-bunga Sakura tidak berhenti berjatuhan dari langit. Keabadian dan rahmat seakan dicurahkan saat itu juga. Aku masih melanjutkan menulis suratku. Apa yang kutulis ini terpacu oleh obrolan siang hari di sebuah kedai kopi di daerah Warung Buncit, Jakarta Selatan tahun lalu. Ingatan ini muncul saat mata kepala dan mata hatiku melihat hujan bunga Sakura di musim semi ini.

Waktu itu, kami berbicara agak personal. Tentang keluarga. Kami mengawalinya dengan perbincangan tentang arti sebuah nama dan mengapa orangtua memberi nama seperti yang kami kenakan sampai sekarang. Pada momen inilah, aku baru tahu apa arti Sakura. Mulai saat itu juga, aku tahu bahwa sahabatku ini sedang mengalami pergulatan. Ia mencari ibunya yang raib ditelan waktu.

Sakura lahir dari pasangan beda Negara. Ayahnya berasal dari Solo, Jawa Tengah dan ibunya berasal dari wilayah dekat bandara Narita, Jepang. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi Sakura. Ayahnya kemudian menamainya Sakura karena ia lahir bulan Maret, bulan di mana bunga Sakura di Jepang sedang bersemi. Selain itu, nama ‘Sakura’ diberi untuk mengenang istrinya yang juga manyandang nama Sakura. Dari rahim Sakura lahirlah Sakura. Sayangnya, ibu Sakura tidak bisa melihat Sakura yang sudah mekar di usia dewasanya. Dan Sakura sekarang belum pernah merasakan pelukan, air susu, dan ciuman dari Sakura yang melahirkannya.

“Mengapa aku tidak pernah melihat ibuku? Aku tidak lahir dari ketiadaan. Ibuku ada dan kemudian aku ada. Aku juga dilahirkan bukan tanpa dikehendaki. Tapi, aku tidak pernah diajak kompromi kalau aku dilahirkan. Aku lahir bebas dari ketidakbebasan. Aku begitu saja dilemparkan dan terpelanting di bumi. Tanpa pernah melihat wajah si empunya rahim yang melahirkanku. Tanpa mendengar dengus napasnya saat ia menimangku,” kata Sakura saat itu.

Aku hanya bisa diam. Membiarkan dirinya bermonolog dengan dirinya sendiri dalam balutan sunyi. Aku mematung untuk sementara waktu.

“Aku yakin, ibuku sebenarnya tidak pernah mati. Ia juga lahir bukan dari ketiadaan. Ia ada dan ada itu abadi. Entah kapan, pasti aku akan menemui orang yang memunyai rahim tempat aku dilahirkan,” kata Sakura.

Nah, kata-kata itulah yang mendorong aku ingin menulis surat padanya di musim semi ini. Tiga hari lalu, aku menjumpai ibunya duduk di bawah pohon Sakura di Taman Inogashira, Kota Musashino. Benar kata Sakura, ibunya tidak mati. Tiga hari lalu aku menjumpainya. Ini bukan mimpi. Bukan pula fatamorgana.

Perempuan itu amat cantik. Putih. Anggun. Tubuh moleknya dibalut kimono putih yang disebut Shiromuku, artinya suci. Rambutnya disanggul dan dihiasi dengan pernak-pernik perhiasan. Kepalanya ditutupi Kakushi, kerudung putih. Dilihat dari sosoknya, dia berumur sekitar 40 tahunan. Saat kutatap wajahnya, aku merasa sudah sangat familiar. Ya, wajah itu pernah kulihat di foto yang senantiasa ditaruh di dompetnya Sakura.

“Ohayo-Gozaimasu,” sapaan pagiku padanya sambil mendekat. Ia diam. Aku ulangi memberi salam. Perempuan itu diam saja. Sesekali bunga-bunga Sakura menghamburkan diri ke tubuh molek itu. Mengelus pelan. Tapi, ia tetap tidak bergeming. Tak lama, suara isak pecah dari bibir merahnya. Jeda pun raib. Aku mendekat. Leleran air bening dari dua bola matanya itu menyisakan jejak di pipi lesungnya yang diolesi make-up.

“Mengapa ibu menangis?” tanyaku.

Perempuan itu diam saja. Tangannya terus mengusap matanya dengan sapu tangan warna kuning. Aku bingung. Aku melihat wajahnya seolah terbalut duka yang dalam. Bunga-bunga sakura masih setia mengusap-usap tubuhnya sebelum terkulai lemah di tanah.

“Ada yang bisa aku bantu?”
Perempuan itu mengangkat kepala. Ia mendengar ucapanku. Matanya yang becek memandangiku lemah.
“Aku mencari anakku. Anakku sudah lama hilang. Aku ingin sekali menggendongnya. Menimangnya tiap malam. Menyusuinya di kala haus. Aku mencari anakku. Puluhan tahun aku mencarinya,” katanya.

Aku setia mendengarkan. Mereka-reka apa yang ia maksud.
“Dua puluh tahun silam, aku melahirkan bayi perempuan. Tapi, malam telah merenggut kebahagiaanku. Sembilan bulan sepuluh hari, aku menantinya. Tapi, malam itu sangat kejam. Ia menunjukkan cakar dan moncongnya. Sungguh mengerikan. Ia telah merebut bayiku. Malam telah memisahkanku dari buah cintaku. Aku meronta, tapi tidak ada yang menolong. Aku teriak tapi tidak ada yang mendengar. Semua bisu. Semua tertunduk lesu. Seorang menggendong bayiku dengan air mata berleleran di pipi. Seorang perawat berpakaian putih menutupi tubuhku dengan kain seprei. Semua terdiam. Dan malam telah memisahkan aku dengan anakku. Wajah suamiku tampak pucat pasi. Aku dengar suara keluar dari mulut lelaki yang aku cintai itu menyebut namaku: Sakura. Ia terus-menyebut namaku. Dan ia pun menamai bayi itu dengan namaku. Tapi, di mana anakku. Malam itu betul-betul jahanam,” kata perempuan itu sambil tersedu.

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang aku lihat. Dia menyebut nama Sakura temanku. Ia mencari anaknya yang bernama Sakura. Sakura pernah bercerita bahwa ia memunyai ibu bernama Sakura. Ibunya sudah meninggal saat ia dilahirkan. Benarkah perempuan di bawah pohon sakura itu adalah ibunya. Dan kawanku yang ada di Jakarta itu adalah anaknya?

Aku sempat menanyakan peristiwa unik pada orangtua di sana. Katanya, musim semi bunga Sakura adalah musim keramat bagi masyarakat Jepang. Di musim semi itu, cinta yang berbajukan keabadian itu akan diturunkan di bumi Matahari Terbit. Cinta yang abadi turun bersama Sakura yang tidak abadi. Namun, cinta yang abadi itu telah mengubah Sakura menjadi abadi.

Lalu, siapa perempuan berkimono putih dan duduk di bawah pohon Sakura itu? Kata orangtua, perempuan itu pencari cinta. Ia adalah roh yang haus akan cinta. Roh yang mengembara ke belantara alam raya untuk mendapatkan cintanya lagi. Ia bisa kelihatan hanya pada setiap musim semi Sakura tiba. Ia hadir bersama bunga-bunga Sakura. Ia bisa ditemui di bawah pohon Sakura di Musashino. Ia terus tersedu sampai ia mendapatkan cintanya lagi. Dan ia akan abadi saat ia bertemu dengan buah cintanya. Keabadian tercipta saat Sakura berjumpa dengan Sakura di bawah pohon Sakura. Keabadian yang tidak akan hancur dan dihancurkan. Termasuk malam-malam jahanam.

Aku biarkan telingaku mendengar cerita dari orangtua itu. Dengan rendah hati, kutanggalkan sejenak pikiran-pikiran rasional. Aku mencoba mendengarkannya dengan hati. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Hatiku kembali terangkat untuk segera menyelesaikan surat. Aku harus segera mengirim surat ini pada Sakura di Jakarta. Mengabarkan bahwa ibunya ada di Jepang. Dan ia bisa menemuinya setiap musim Sakura tiba.

Taman kota semakin sunyi. Desir angin semakin pelan. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala. Malam sebentar lagi tiba. Masih tampak satu dua bunga sakura menjatuhi taman. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan suratku.

Read more...

About This Blog

Para pembaca, silakan pasang iklan. Ini masih blog uji coba. Sekali lagi uji coba template yang paling bagus. Uji coba.

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP